16.51

Kemana Sang Pujangga Kan Beranjak

Embun yang menetesi fajar dengan sempurna

Mengambarkan pesona marun sang mentari

Saat beranjak dari hari yang tlah berlalu

Menebarkan segala peluh yang terhirup



Hari yang berputar menyapu waktu

Kembali menjajaki kisah yang terungkap

Dalam kutipan setangkai nuansa hati

Yang tak kunjung terbuka dengan aura



Kemana sang pujangga tlah beranjak

Mengali sejuta kata yang tersembunyi

Di suatu serpihan yang termiliki

Dalam goresan sejarah yang mewakili

16.37

Melonggok Segenggam Hati

Sejenak setetes hujan masih saja menghukumi bumi

Angin pun terasa mengoceh menerpa serumpun dedaunan

Menerbangkan helai demi helai daun yang telah meranggas

Rumput yang mengering ikut serta menarikan tarian hujan

Cawan-cawan yang tertelunggup memantulkan kembali tetesan

Hujan belum reda saat sang dewi menelungkupkan cawan

Sayapnya yang menggantikan cawan itu agar air tidak menetes ke bumi

Huhhh…sungguh dingin menerpa diri, saat hujan mengaliri raga

Bertahan mendustai segenggam keharusan yang menghantui

Mencoba dan terus mencoba menggelayut diantara badai

Sampai pada titah pencipta menghempasnya jatuh

Sungguh oh pencipta ruh…napas belum dihembuskan

Sayappun masih mengelantung membebani jasad

Mimpi sejenak yang terlintaspun belum terlukiskan

Haruskah larian ini dihentikan??

Saat bumi belum menemukan sesosok penjaga



Sesaat kemudian tangisan itu terhenti

Kembali sang surya mengintip dari sisa mega

Mengusap sayang rintik-rintik hujan

Tersenyum membentuk lengkungan indah sang pelangi

Dan sang dewipun masih tertunduk menghujat sepi

Berucap kembali kepada pemberi jasad

Bila detik memang telah berhenti memutar hari

Bila penjaga bumi adalah bukan yang ditemui

Saatnya untuk menerima pahatan rusuk yang menanti

Takdir diri akan terpenuhi dengan putaran yang terhenti

Karena terus berjalan adalah keharusan yang tlah terpatri

Bukan untuk menegok kembali kisah yang telah

11.03

Pria Dingin Di Lorong Masa Lalu

Mentari menatap gugusan awan dengan ragu
Merasa tlah gagu menembus sang bayu
Sajak hati teringat akan sesuatu
Yang tak pernah terbesit dalam perasaanku

Entah mengapa ku kembali ke masa itu
Saat selusin tanda tanya menyerbu kalbu
Dan tlah kau beri aku sejuta ragu yang menyatu
Dalam sebuah waktu yang berlalu

Kuceritakan kembali sebuah haru biru
Akan sesosok diri yang tlah menunggu
Bertalu memberi gelagat cinta yang semu
Seorang pria dingin di lorong masa lalu

Terinspirasi dari : pria tanpa senyum di masa lalu

11.05

Mentari Esok Kan Menari

Hujan petir terus rintik tak berhenti
Seolah menghukum siapa saja dibumi
Angin malampun seolah tak tertinggal
Menyapu dinginnya bumi dengan lambaian

Sayapkupun menjadi beku
Tak bisa menapaki langit
Yang penuh akan kumpulan awan
Merangkak memaksa hujan pergi

Roh berjasad ini masih menatapnya
Linangan hujan yang terdengar parau
Memohon mentari esok menari
Sehingga bisa membawanya pergi

Terinspirasi dari : “secepat apa kau ingin aku berlari?”

16.34

(Mereka) Hadir Dalam sebuah Episode Kehidupanku

Angin adalah badai yang mengoyak kalbu, merobek seluruh jiwa dan menyayat kepingan hati, mendustai batin yang tersuguhkan, menerbangkan setiap deretan mimpi, mengalurkan kekonyolan kisah yang salah di sisa hati, mencoba untuk kembali berhembus semilir namun ruh terlanjur luluh lantak dan benteng telah dibangun untuk menahan hembusannya

Laut adalah jasad yang mengunci seluruh pintu dan merantai diri dalam ketulusan yang tergenggam dengan sebuah kesetiaan yang berlebihan, menjaga setiap detak napas untuk merangkul sebuah cerita yang terkisah dalam babak episode yang sudah terbaca kelanjutannya, gelombang hempasannya menenggelamkan semua yang tersisa, meringkus setiap ingatan untuk jangan pernah mencoba

Kabut adalah jasad yang menitah hati untuk menyuguhkan seluruh kehidupan dalam rangkaian keikhlasan ruh, merangkaki hidup dengan kepekaan indera, menunggui sebuah kepastian yang tak biasa, mencoba membuka kunci dan rantai yang membelenggu, mengobati setiap goresan yang terpahat, menapaki kisah kehidupan dalam setiap petikan ayat, mencoba memasuki babak episode sebuah kisah tanpa scenario sesungguhnya

Embun adalah jasad yang menyuguhkan petuah kehidupan dalam setiap bait cerita, telinga yang menajamkan kisah serta melambaikan kehadiran disetiap senja, celotehan akan kehidupan selalu membuat kami terbahak, cerita yang tersimpan rapi selalu terucap pasti dari setiap kerlingan, menyeringaikan setiap detik masa lalu bagai kekonyolan semata yang tak ingin lagi diraba

Senja adalah jasad yang melindungi jiwa dari sentuhan angin, mendesak angin untuk berhenti berhembus semilir dan menemani diri dalam setiap detak hembusan angin, menahan ruh agar berlari menepi dan berhenti berkisah mengenai angin, membisiki kalbu untuk selalu bertahan dalam setiap hempasan, menyatakan kehadiran dari setiap sapaan

Bintang adalah jasad yang menyampaikan selusin nasihat untuk selalu menjaga sebuah ketulusan dan kesetiaan yang terjanji, menorehkan komitmen terhadap suatu perjalanan kisah untuk tidak berbicara mengenai hati, menyapa setiap hari dengan kisah terbaru dari setiap detak waktu serta bermimpi bersama menunjuk sebuah bintang dilangit suatu kota

Bunda adalah jasad yang menjaga diri agar tidak tergores sayatan angin, tanpa sengaja menyuguhkan kebenaran yang memutuskan genggaman dalam lembaran kisah melalui celotehan sang angin, menemani setiap detik masa lalu untuk tetap berdiri dalam terpaan badai sang angin

Gunung Es adalah jasad yang tiba-tiba mengetuki pintu hati untuk mencoba menjalani episode cerita dengan kisah yang tak tertuju, menyuguhkan kisah diri yang memicingkan keheranan yang sangat, mengeruk kebenaran diri melalui kata yang tidak pernah terucap, mengalirkan sejuta tanda tanya dalam hati yang mungkin tak terjawab, mengayuh suatu episode tanpa prolog, epilog dan dialog

Hujan adalah jasad yang muncul karena titah sang pujangga untuk menyirami hati yang terluka dan menjaga kalbu agar tetap utuh dalam dekapan kisah lalu, menorehkan suatu pesona yang menyingkapi sebuah rahasia, pelabuhan seluruh celotehan dan keresahan hati, menapaki setiap waktu untuk menghadirkan kekuatan ruh, membesitkan sesuatu yang bersembunyi karena keadaan yang tak mungkin untuk terucapkan

Sultan adalah penjaga ruh yang tersembunyi yang mencabik penantian yang tak diketahui, memaksa diri berhasrat menemukannya seperti yang tertulis dalam semburat awang-awang, Entahlah…

”Sekedar Imajinasi Penulis”

16.39

Lambaian Mimpi Sudahkan Terganti

Memandang ruang jauh di ujung senja

Cakrawala membelah langit dengan sempurna

Senyuman mega menarik diri

Mengikuti seluruh pusaran gemulai sang surya



Kutipan angkasa menggiring waktu

Berjalan perlahan memaknai lagu sendu

Malam telah berlari menuruni bumi

Menggugah bulan dan bintang bersanding merdu



Disudut jendela tersungging rindu

Menatap sang langit sembari mengerutu

Mengorek dengusan keresahan diri

Rangkaian tanya kepada hati

Lambaian mimpi sudahkah terganti…



Terinspirasi dari : Have no idea (again)

16.41

Terbanglah Tinggi Di Puncak Es Itu

Serumpun bintang tertatih turun

Mencoba menyentak keheningan

Yang tersusun saat awan berarak

Menutup angkasa yang bergelora



Saat titah turun kebumi

Sang punggawa telah menyertakan berita

Menuntun setiap helai doa

Mencapai sang pencipta jiwa



Entah mengapa malam itu

Hati tergerak untuk mengauli kisah

Terbungkam dalam goresan hati

Tertutup akan janji untuk pergi



Hati ini serasa terbahak

Menyadari dinginnya sang pendaki

Tak terkira pernah termiliki

Bukan sempurna tetapi mempesona

16.40

Kembali Merampas Hati Yang Tersisa

Gulungan langit membentuk gugusan

Semburat putih melukis angkasa

Angin beranjak menerbangkan mega

Menutup nuansa biru kelabu



Suasana gejolak teryakini

Yang tak mungkin kembali memaki diri

Hanya untuk kekonyolan jiwa sepi

Dan penyesalan yang ternodai



Hmm…Sungguh tak nyata degupan waktu

Desiran berlari mengarungi sejarah

Terhempas potongan demi potongan ingatan

Kembali merampas hati yang tersisa



Terinspirasi dari : Have no idea

Kemana Sang Pujangga Kan Beranjak

Embun yang menetesi fajar dengan sempurna

Mengambarkan pesona marun sang mentari

Saat beranjak dari hari yang tlah berlalu

Menebarkan segala peluh yang terhirup



Hari yang berputar menyapu waktu

Kembali menjajaki kisah yang terungkap

Dalam kutipan setangkai nuansa hati

Yang tak kunjung terbuka dengan aura



Kemana sang pujangga tlah beranjak

Mengali sejuta kata yang tersembunyi

Di suatu serpihan yang termiliki

Dalam goresan sejarah yang mewakili

Melonggok Segenggam Hati

Sejenak setetes hujan masih saja menghukumi bumi

Angin pun terasa mengoceh menerpa serumpun dedaunan

Menerbangkan helai demi helai daun yang telah meranggas

Rumput yang mengering ikut serta menarikan tarian hujan

Cawan-cawan yang tertelunggup memantulkan kembali tetesan

Hujan belum reda saat sang dewi menelungkupkan cawan

Sayapnya yang menggantikan cawan itu agar air tidak menetes ke bumi

Huhhh…sungguh dingin menerpa diri, saat hujan mengaliri raga

Bertahan mendustai segenggam keharusan yang menghantui

Mencoba dan terus mencoba menggelayut diantara badai

Sampai pada titah pencipta menghempasnya jatuh

Sungguh oh pencipta ruh…napas belum dihembuskan

Sayappun masih mengelantung membebani jasad

Mimpi sejenak yang terlintaspun belum terlukiskan

Haruskah larian ini dihentikan??

Saat bumi belum menemukan sesosok penjaga



Sesaat kemudian tangisan itu terhenti

Kembali sang surya mengintip dari sisa mega

Mengusap sayang rintik-rintik hujan

Tersenyum membentuk lengkungan indah sang pelangi

Dan sang dewipun masih tertunduk menghujat sepi

Berucap kembali kepada pemberi jasad

Bila detik memang telah berhenti memutar hari

Bila penjaga bumi adalah bukan yang ditemui

Saatnya untuk menerima pahatan rusuk yang menanti

Takdir diri akan terpenuhi dengan putaran yang terhenti

Karena terus berjalan adalah keharusan yang tlah terpatri

Bukan untuk menegok kembali kisah yang telah

Pria Dingin Di Lorong Masa Lalu

Mentari menatap gugusan awan dengan ragu
Merasa tlah gagu menembus sang bayu
Sajak hati teringat akan sesuatu
Yang tak pernah terbesit dalam perasaanku

Entah mengapa ku kembali ke masa itu
Saat selusin tanda tanya menyerbu kalbu
Dan tlah kau beri aku sejuta ragu yang menyatu
Dalam sebuah waktu yang berlalu

Kuceritakan kembali sebuah haru biru
Akan sesosok diri yang tlah menunggu
Bertalu memberi gelagat cinta yang semu
Seorang pria dingin di lorong masa lalu

Terinspirasi dari : pria tanpa senyum di masa lalu

Mentari Esok Kan Menari

Hujan petir terus rintik tak berhenti
Seolah menghukum siapa saja dibumi
Angin malampun seolah tak tertinggal
Menyapu dinginnya bumi dengan lambaian

Sayapkupun menjadi beku
Tak bisa menapaki langit
Yang penuh akan kumpulan awan
Merangkak memaksa hujan pergi

Roh berjasad ini masih menatapnya
Linangan hujan yang terdengar parau
Memohon mentari esok menari
Sehingga bisa membawanya pergi

Terinspirasi dari : “secepat apa kau ingin aku berlari?”

(Mereka) Hadir Dalam sebuah Episode Kehidupanku

Angin adalah badai yang mengoyak kalbu, merobek seluruh jiwa dan menyayat kepingan hati, mendustai batin yang tersuguhkan, menerbangkan setiap deretan mimpi, mengalurkan kekonyolan kisah yang salah di sisa hati, mencoba untuk kembali berhembus semilir namun ruh terlanjur luluh lantak dan benteng telah dibangun untuk menahan hembusannya

Laut adalah jasad yang mengunci seluruh pintu dan merantai diri dalam ketulusan yang tergenggam dengan sebuah kesetiaan yang berlebihan, menjaga setiap detak napas untuk merangkul sebuah cerita yang terkisah dalam babak episode yang sudah terbaca kelanjutannya, gelombang hempasannya menenggelamkan semua yang tersisa, meringkus setiap ingatan untuk jangan pernah mencoba

Kabut adalah jasad yang menitah hati untuk menyuguhkan seluruh kehidupan dalam rangkaian keikhlasan ruh, merangkaki hidup dengan kepekaan indera, menunggui sebuah kepastian yang tak biasa, mencoba membuka kunci dan rantai yang membelenggu, mengobati setiap goresan yang terpahat, menapaki kisah kehidupan dalam setiap petikan ayat, mencoba memasuki babak episode sebuah kisah tanpa scenario sesungguhnya

Embun adalah jasad yang menyuguhkan petuah kehidupan dalam setiap bait cerita, telinga yang menajamkan kisah serta melambaikan kehadiran disetiap senja, celotehan akan kehidupan selalu membuat kami terbahak, cerita yang tersimpan rapi selalu terucap pasti dari setiap kerlingan, menyeringaikan setiap detik masa lalu bagai kekonyolan semata yang tak ingin lagi diraba

Senja adalah jasad yang melindungi jiwa dari sentuhan angin, mendesak angin untuk berhenti berhembus semilir dan menemani diri dalam setiap detak hembusan angin, menahan ruh agar berlari menepi dan berhenti berkisah mengenai angin, membisiki kalbu untuk selalu bertahan dalam setiap hempasan, menyatakan kehadiran dari setiap sapaan

Bintang adalah jasad yang menyampaikan selusin nasihat untuk selalu menjaga sebuah ketulusan dan kesetiaan yang terjanji, menorehkan komitmen terhadap suatu perjalanan kisah untuk tidak berbicara mengenai hati, menyapa setiap hari dengan kisah terbaru dari setiap detak waktu serta bermimpi bersama menunjuk sebuah bintang dilangit suatu kota

Bunda adalah jasad yang menjaga diri agar tidak tergores sayatan angin, tanpa sengaja menyuguhkan kebenaran yang memutuskan genggaman dalam lembaran kisah melalui celotehan sang angin, menemani setiap detik masa lalu untuk tetap berdiri dalam terpaan badai sang angin

Gunung Es adalah jasad yang tiba-tiba mengetuki pintu hati untuk mencoba menjalani episode cerita dengan kisah yang tak tertuju, menyuguhkan kisah diri yang memicingkan keheranan yang sangat, mengeruk kebenaran diri melalui kata yang tidak pernah terucap, mengalirkan sejuta tanda tanya dalam hati yang mungkin tak terjawab, mengayuh suatu episode tanpa prolog, epilog dan dialog

Hujan adalah jasad yang muncul karena titah sang pujangga untuk menyirami hati yang terluka dan menjaga kalbu agar tetap utuh dalam dekapan kisah lalu, menorehkan suatu pesona yang menyingkapi sebuah rahasia, pelabuhan seluruh celotehan dan keresahan hati, menapaki setiap waktu untuk menghadirkan kekuatan ruh, membesitkan sesuatu yang bersembunyi karena keadaan yang tak mungkin untuk terucapkan

Sultan adalah penjaga ruh yang tersembunyi yang mencabik penantian yang tak diketahui, memaksa diri berhasrat menemukannya seperti yang tertulis dalam semburat awang-awang, Entahlah…

”Sekedar Imajinasi Penulis”

Lambaian Mimpi Sudahkan Terganti

Memandang ruang jauh di ujung senja

Cakrawala membelah langit dengan sempurna

Senyuman mega menarik diri

Mengikuti seluruh pusaran gemulai sang surya



Kutipan angkasa menggiring waktu

Berjalan perlahan memaknai lagu sendu

Malam telah berlari menuruni bumi

Menggugah bulan dan bintang bersanding merdu



Disudut jendela tersungging rindu

Menatap sang langit sembari mengerutu

Mengorek dengusan keresahan diri

Rangkaian tanya kepada hati

Lambaian mimpi sudahkah terganti…



Terinspirasi dari : Have no idea (again)

Terbanglah Tinggi Di Puncak Es Itu

Serumpun bintang tertatih turun

Mencoba menyentak keheningan

Yang tersusun saat awan berarak

Menutup angkasa yang bergelora



Saat titah turun kebumi

Sang punggawa telah menyertakan berita

Menuntun setiap helai doa

Mencapai sang pencipta jiwa



Entah mengapa malam itu

Hati tergerak untuk mengauli kisah

Terbungkam dalam goresan hati

Tertutup akan janji untuk pergi



Hati ini serasa terbahak

Menyadari dinginnya sang pendaki

Tak terkira pernah termiliki

Bukan sempurna tetapi mempesona

Kembali Merampas Hati Yang Tersisa

Gulungan langit membentuk gugusan

Semburat putih melukis angkasa

Angin beranjak menerbangkan mega

Menutup nuansa biru kelabu



Suasana gejolak teryakini

Yang tak mungkin kembali memaki diri

Hanya untuk kekonyolan jiwa sepi

Dan penyesalan yang ternodai



Hmm…Sungguh tak nyata degupan waktu

Desiran berlari mengarungi sejarah

Terhempas potongan demi potongan ingatan

Kembali merampas hati yang tersisa



Terinspirasi dari : Have no idea