15.00

Takdir Cinta

Malam ini semilir sepoi-sepoi angin menerpa wajahku. Aku berdiri di sebuah halte bis, memandangi setiap orang yang hilir mudik dihadapanku. Dingin memang angin malam ini, tetapi aku tidak peduli karena aku akan bertemu dengan seseorang yang selama ini memang ingin aku temui. Aku melihatnya disebuah surat kabar. Dia seorang penulis namanya Nania Yustisiana. Fotonya terpampang disebuah majalah ibu kota yang iseng aku beli ketika aku sedang makan siang di sebuah fast food. Saat itu aku langsung terpana dengan sebuah foto, diatasnya adalah sebuah hasil karyanya sebuah cerpen yang menceritakan tentang sebuah kisah percintaan lewat dunia maya. Aku tertarik untuk membaca ceritanya, karena foto itu. Entahlah,..ada apa dengan aku ini, belum pernah kurasakan sebelumnya, yang pasti foto itu terlihat sangat menarik bagiku. Dibagian akhir tulisannya ada alamat emailnya. Iseng saja pikiranku saat itu, aku ingin mengenalnya dan hal pertama yang aku lakukan setelah kembali ke kantor adalah mengirimkan email sederhana kepadanya

Selamat siang mbak,..

Saya baru saja membaca tulisan anda di majalah friend,..
Tulisan mbak bagus,..
Terus berkarya mbak,..
Salam kenal

Aku tidak berharap dia membalas emailku, tetapi ternyata di luar dugaanku, 5 menit kemudian sebuah email masuk

Terima kasih telah membaca tulisan saya,..

Salam kenal kembali

Itulah awal mula aku mengenalnya. Kami mulai berbalas email, chating bahkan aku mulai berani menelponnya. Dia wanita yang sangat mandiri, tegas, smart, lucu dan enak diajak ngobrol, sangat sempurna bagiku sehingga ketika dia berkata dia akan pergi ke kotaku aku berniat untuk menemuinya. Dia akan berada di kotaku selama 3 hari, dia akan menghadiri suatu pertemuan penulis di sebuah mall terkenal di kotaku. Dan inilah hari itu..

Aku masih saja berdiri disini. Aku melongok ke atas sambil mencari sesuatu yang aku juga tidak tahu, indah sekali malam ini, bulan bersinar dengan sempurna. Sesempurna pertemuanku dengannya nanti. Aku mendesah panjang, kutenangkan hatiku yang resah, kupejamkan mataku sebentar. Detak jantung ini mulai tak beraturan, sungguh benar-benar meresahkan. Segala pikiran berkecamuk diotakku hilir mudik tidak teratur yang membuat perasaanku menjadi tak tenang. Aku bahkan tidak berani membayangkan seperti apa pertemuan kami nanti. Ku longok jam ditanganku, ¾ jam lagi waktu pertemuan itu tiba. Fuh,.. Ya Allah tenangkanlah hatiku. Kuayuhkan tanganku untuk mencegat taksi yang melintas dihadapanku. “Plaza Semanggi, Pak” kataku kepada sopir itu. Diapun mengangguk, mulai menjalankan argo taksinya dan melaju sedang. Ku lihat dari balik jendela taksi kulihat gedung-gedung diluar bertaburan lampu. “Masih ada juga yang bekerja” pikirku. Taksi perlahan-lahan berhenti, macet, yah..begitulah kira-kira. Detak jantungku semakin tak beraturan bukan karena kemacetan itu tetapi karena 10 menit lagi aku akan sampai ditempat itu. Aku mulai resah, tanganku dingin sekali, perutku jadi terasa sakit. Benar-benar menyiksaku sekali. Kulihat gedung plaza itu mulai tampak didepan mataku. Aku tidak bisa berpikir jernih. “Ya Allah, tenangkanlah hatiku” doaku. Semakin mendekat dan mendekat. Akhirnya sopir taksi itu menghentikan laju mobilnya. “Sudah sampai, Pak” katanya. Aku kaget, aku sedang sibuk menenangkan diri sehingga tanpa kusadari taksi sudah berhenti. Aku berikan selembar uang 50 ribuan kepada pengemudi taksi itu. Aku langsung keluar dari taksi itu. “Pak, kembaliannya” kata sopir taksi itu. “Udah ambil saja, Pak” kataku. Aku memasuki plaza itu, kuraih Hp-ku dan mulai menghubunginya. “Halo” sapa dari seberang. “Halo, aku dah nyampe, kamu dimana?” kataku. “Sebentar lagi aku nyampe, tunggu sebentar” katanya. “Ok, aku tunggu didepan Bank Swastika ya” kataku. “Ok” jawabnya. Aku memutuskan untuk jalan-jalan dulu sambil menenangkan hatiku.

Kulihat sekali lagi jam ditanganku, sudah 10 menit aku menunggunya. Pasti dia sudah datang, aku harus ke tempat kita janjian, didepan Bank Swastika. Saat aku sedang berjalan menuju kesana, aku melihatnya sedang menuju kearahku. “Nani” aku memanggilnya. Diapun menoleh kearahku. Tampak padaku senyumnya, kuulurkan tanganku. “Sani” ucapku. “Oh,..ini ya mas Sani” katanya. Aku tersenyum. “Ayo kita cari tempat buat ngobrol” ucapku. Aku berusaha setenang mungkin. Kamipun menemukan tempat yang cocok untuk berbicara. Ditempat paling tinggi gedung itu, di tempat yang paling romantis disini. Ada alunan musik yang mengiringi percakapan kami. Ada lilin yang menerangi meja kami. Ada angin berhembus semilir. Ada bulan yang memancarkan pesonanya. Hatiku bergetar hebat, tak pernah berani kupandang wajahnya. Bukan tak ingin, sungguh aku ingin sekali memandangnya, tapi aku yakin bila itu ku lakukan, aku akan terlihat seperti orang bodoh yang kehilangan kendali. Dan aku tak ingin bertingkah seperti itu dihadapannya. Aku tau yang aku lakukan akan membuatnya merasa tidak diperhatikan. Tetapi itulah yang bisa aku lakukan.

Jam semakin larut, sudah pukul 10 malam. “Ayo kita pulang, Mas, sudah malam” katanya. “Aku masih ingin disini” kataku. “Kapan-kapan kita bertemu lagi saja” katanya. Akupun menurutinya. Kami menuruni gedung itu. “Kayaknya besuk kamu ulang tahun ya Mas” katanya. “Iya” jawabku. Dia diam dan kamipun menaiki lift tanpa berbicara. “Aku antar kamu pulang” kataku. “Iya, Mas” jawabnya. Aku melambaikan tanganku pada taksi yang melintas didepanku. “Monas, Pak” kataku. Dia terkejut dan memandangiku. “Kenapa kita ke monas, Mas?” katanya. “Aku masih pengen ngobrol sama kamu, lagian besok kan libur” katanya. “Nggak ah, pulang aja” katanya. “Kenapa sih? Besuk aku ultah lho” kataku. “Emangnya kenapa? Aku kamu suruh jadi seseorang yang mengucapkan pertama kali selamat gitu” candanya. “Hehehe,..iya” kataku sekenanya. Aku terdiam sambil memandang keluar jendela. “Hmm” aku menghela napas yang ternyata tertangkap olehnya. “Napa, Mas?” katanya. “Eh,..ga papa” kataku. Pikiranku masih sama, masih kacau balau tak beraturan. “Tuh monasnya dah keliatan” katanya. Aku menoleh kearahnya. Lalu mataku tertuju pada wajahnya. Cantik sekali diterangi lampu jalanan yang sedang kami lewati, diantara remang-remang cahaya, dia terlihat sama mempesonanya. Dia menoleh kearahku. Aku pura-pura melihat luar jendela. Kamipun telah memasuki areal monas. Memang disini selalu ramai disaat weekend seperti ini, ada yang main futsal, ada hanya jalan-jalan, ada yang sedang duduk-duduk, ada yang sedang lari-lari. Kamipun memilih untuk duduk disebuah bangku yang kosong. Kami mulai bercerita tentang diri kami, apa yang kami lakukan, serta beberapa kesukaan kami. Sambil sesekali kumeliriknya karena sampai saat inipun aku belum berani memandangi wajahnya. Aneh,..aku memang aneh, untuk memandanginya saja aku tidak mampu.

Jam menunjukkan pukul 23.55, saat kulihat dia menarik tangannya untuk melihat jam. “Kurang 5 menit lagi, Mas” katanya. “He em” sahutku. Udara malam ini mulai dingin sekali, menusuk-nusuk tulang. Kulihat dia agak kedinginan. Dia tutup resleting jaketnya. “Dingin ya” kataku. “Iya” jawabnya. “Sayangnya hari ini aku tidak membawa jaket, kalo bawa pasti kamu nggak sedingin ini” kataku. “Ah,..nggak papa, jaketku juga sudah hangat kok” katanya. “Selamat ulang tahun, Mas” katanya. Aku tersentak kaget. “Eh udah jam 12 ya, makasih ya, Nan” kataku. “Asyik,..Aku jadi orang yang pertama” katanya girang. Aku mengangguk. “Udah pulang yuk, Mas” katanya. “Aku ngantuk banget” lanjutnya. Aku menoleh kearahnya. Wajahnya sudah kepayahan menahan kantuk. Aku sebenarnya nggak tega melihat wajahnya, tetapi aku benar-benar ingin mengatakan sesuatu padanya malam ini. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. “Nan, aku mau ngomong sesuatu” kataku. “Emangnya dari tadi kita nggak ngomong ya” candanya. “Ini serius, Nan” kataku. “Iya deh,..ngomong aja” katanya. Aku bingung harus mulai dari mana untuk mengawali pembicaraan penting ini. Sebenarnya akupun juga tidak berani mengatakannya. Tapi ini harus aku lakukan karena aku tidak ingin selalu tersiksa seperti ini. Inilah kesempatanku, kalau tidak sekarang kapan lagi. “Nan, jawab yang jujur ya” kataku membuka pembicaraan. “Iya” katanya. “Nan, mau nggak kamu jadi kado terindahku hari ini? Mau nggak kamu jadi istriku?” kataku. Entahlah tiba-tiba saja aku mengucapkan kata itu dan mempunyai keberanian untuk mengucapkannya. Seperti dugaanku Nani sangat terkejut, wajahnya terlihat memandangiku dengan aneh. Dia terdiam, lama sekali dia terdiam. “Nan, kamu marah ya?” kataku. Dia masih terdiam. “Nan, ngomong dong” kataku. Dia menoleh kearahku. “Mas, aku kira selama ini kamu menganggap aku sebagai adik, aku benar-benar terkejut kamu berkata seperti itu” katanya. Tubuhku lemas seketika mendengar apa yang dia katakan. Aku tau dia akan mengatakan seperti itu, karena selama ini aku memang tidak pernah menunjukkan padanya mengenai rasaku ini. Aku tertunduk dan berpikir. Tiba-tiba ada keberanian dalam diriku untuk mencoba meyakinkannya tentang rasaku ini. Ya,..Aku harus menyakinkannya. “Nan, kamu percaya takdir nggak?” kataku. “Percaya” katanya. “Maukah kamu menjalani dulu takdir kita ini” kataku. “Kita coba jalani dulu, Nan” kataku. “Aku tau, Nan, Kamu juga sayang sama aku” kataku. Terbesit keraguan di wajah Nani. Aku menatapnya, kulihat matanya, sembari mengatakan “Nan, jika takdir sudah dilukiskan maka kita tidak bisa menolak, apakah takdir itu kita berjodoh atau kita tidak berjodoh, tetapi takdir kita hari ini adalah kita dipertemukan dan aku diberi kesempatan untuk meminta hatimu. Apakah nanti kamu menerimaku atau tidak itupun takdir untukku. Nan, hidup ini sudah ada yang mengatur. Kita telah terpilih secara acak untuk berkenalan, bertemu dan mungkin berjodoh, Nan. Jalanilah semua ini dulu, Nan. Karena aku percaya pasti ada alasan kenapa kita sampai dipertemukan dan kenapa hari ini harus terjadi. Aku tau, Nan, kamu, aku dan kita punya rasa sayang yang sama. Sekali lagi Nan, maukah kau menjalani takdir ini bersamaku?” kataku. Dia memandangiku, tersenyum dan mengangguk walaupun aku tau ada galau dihatinya yang meragukan pernyataan dan perkataanku. Hari ini memang indah bukan karena hari ini ulang tahunku tetapi aku mendapat kado terindah yaitu Nania Yustisiana. Terima kasih Ya Allah,..

Hello, is it me you looking for?
I can see it in your eyes, I can see it in your smile
You’re all I’ve ever wanted and my arms are open wide
Cause you know just what to say and you know just what to do
And I want to tell you so much, I LOVE U,..
(Hello, Lionel Richie)

“Sekedar imajinasi penulis”

0 komentar:

Takdir Cinta

Malam ini semilir sepoi-sepoi angin menerpa wajahku. Aku berdiri di sebuah halte bis, memandangi setiap orang yang hilir mudik dihadapanku. Dingin memang angin malam ini, tetapi aku tidak peduli karena aku akan bertemu dengan seseorang yang selama ini memang ingin aku temui. Aku melihatnya disebuah surat kabar. Dia seorang penulis namanya Nania Yustisiana. Fotonya terpampang disebuah majalah ibu kota yang iseng aku beli ketika aku sedang makan siang di sebuah fast food. Saat itu aku langsung terpana dengan sebuah foto, diatasnya adalah sebuah hasil karyanya sebuah cerpen yang menceritakan tentang sebuah kisah percintaan lewat dunia maya. Aku tertarik untuk membaca ceritanya, karena foto itu. Entahlah,..ada apa dengan aku ini, belum pernah kurasakan sebelumnya, yang pasti foto itu terlihat sangat menarik bagiku. Dibagian akhir tulisannya ada alamat emailnya. Iseng saja pikiranku saat itu, aku ingin mengenalnya dan hal pertama yang aku lakukan setelah kembali ke kantor adalah mengirimkan email sederhana kepadanya

Selamat siang mbak,..

Saya baru saja membaca tulisan anda di majalah friend,..
Tulisan mbak bagus,..
Terus berkarya mbak,..
Salam kenal

Aku tidak berharap dia membalas emailku, tetapi ternyata di luar dugaanku, 5 menit kemudian sebuah email masuk

Terima kasih telah membaca tulisan saya,..

Salam kenal kembali

Itulah awal mula aku mengenalnya. Kami mulai berbalas email, chating bahkan aku mulai berani menelponnya. Dia wanita yang sangat mandiri, tegas, smart, lucu dan enak diajak ngobrol, sangat sempurna bagiku sehingga ketika dia berkata dia akan pergi ke kotaku aku berniat untuk menemuinya. Dia akan berada di kotaku selama 3 hari, dia akan menghadiri suatu pertemuan penulis di sebuah mall terkenal di kotaku. Dan inilah hari itu..

Aku masih saja berdiri disini. Aku melongok ke atas sambil mencari sesuatu yang aku juga tidak tahu, indah sekali malam ini, bulan bersinar dengan sempurna. Sesempurna pertemuanku dengannya nanti. Aku mendesah panjang, kutenangkan hatiku yang resah, kupejamkan mataku sebentar. Detak jantung ini mulai tak beraturan, sungguh benar-benar meresahkan. Segala pikiran berkecamuk diotakku hilir mudik tidak teratur yang membuat perasaanku menjadi tak tenang. Aku bahkan tidak berani membayangkan seperti apa pertemuan kami nanti. Ku longok jam ditanganku, ¾ jam lagi waktu pertemuan itu tiba. Fuh,.. Ya Allah tenangkanlah hatiku. Kuayuhkan tanganku untuk mencegat taksi yang melintas dihadapanku. “Plaza Semanggi, Pak” kataku kepada sopir itu. Diapun mengangguk, mulai menjalankan argo taksinya dan melaju sedang. Ku lihat dari balik jendela taksi kulihat gedung-gedung diluar bertaburan lampu. “Masih ada juga yang bekerja” pikirku. Taksi perlahan-lahan berhenti, macet, yah..begitulah kira-kira. Detak jantungku semakin tak beraturan bukan karena kemacetan itu tetapi karena 10 menit lagi aku akan sampai ditempat itu. Aku mulai resah, tanganku dingin sekali, perutku jadi terasa sakit. Benar-benar menyiksaku sekali. Kulihat gedung plaza itu mulai tampak didepan mataku. Aku tidak bisa berpikir jernih. “Ya Allah, tenangkanlah hatiku” doaku. Semakin mendekat dan mendekat. Akhirnya sopir taksi itu menghentikan laju mobilnya. “Sudah sampai, Pak” katanya. Aku kaget, aku sedang sibuk menenangkan diri sehingga tanpa kusadari taksi sudah berhenti. Aku berikan selembar uang 50 ribuan kepada pengemudi taksi itu. Aku langsung keluar dari taksi itu. “Pak, kembaliannya” kata sopir taksi itu. “Udah ambil saja, Pak” kataku. Aku memasuki plaza itu, kuraih Hp-ku dan mulai menghubunginya. “Halo” sapa dari seberang. “Halo, aku dah nyampe, kamu dimana?” kataku. “Sebentar lagi aku nyampe, tunggu sebentar” katanya. “Ok, aku tunggu didepan Bank Swastika ya” kataku. “Ok” jawabnya. Aku memutuskan untuk jalan-jalan dulu sambil menenangkan hatiku.

Kulihat sekali lagi jam ditanganku, sudah 10 menit aku menunggunya. Pasti dia sudah datang, aku harus ke tempat kita janjian, didepan Bank Swastika. Saat aku sedang berjalan menuju kesana, aku melihatnya sedang menuju kearahku. “Nani” aku memanggilnya. Diapun menoleh kearahku. Tampak padaku senyumnya, kuulurkan tanganku. “Sani” ucapku. “Oh,..ini ya mas Sani” katanya. Aku tersenyum. “Ayo kita cari tempat buat ngobrol” ucapku. Aku berusaha setenang mungkin. Kamipun menemukan tempat yang cocok untuk berbicara. Ditempat paling tinggi gedung itu, di tempat yang paling romantis disini. Ada alunan musik yang mengiringi percakapan kami. Ada lilin yang menerangi meja kami. Ada angin berhembus semilir. Ada bulan yang memancarkan pesonanya. Hatiku bergetar hebat, tak pernah berani kupandang wajahnya. Bukan tak ingin, sungguh aku ingin sekali memandangnya, tapi aku yakin bila itu ku lakukan, aku akan terlihat seperti orang bodoh yang kehilangan kendali. Dan aku tak ingin bertingkah seperti itu dihadapannya. Aku tau yang aku lakukan akan membuatnya merasa tidak diperhatikan. Tetapi itulah yang bisa aku lakukan.

Jam semakin larut, sudah pukul 10 malam. “Ayo kita pulang, Mas, sudah malam” katanya. “Aku masih ingin disini” kataku. “Kapan-kapan kita bertemu lagi saja” katanya. Akupun menurutinya. Kami menuruni gedung itu. “Kayaknya besuk kamu ulang tahun ya Mas” katanya. “Iya” jawabku. Dia diam dan kamipun menaiki lift tanpa berbicara. “Aku antar kamu pulang” kataku. “Iya, Mas” jawabnya. Aku melambaikan tanganku pada taksi yang melintas didepanku. “Monas, Pak” kataku. Dia terkejut dan memandangiku. “Kenapa kita ke monas, Mas?” katanya. “Aku masih pengen ngobrol sama kamu, lagian besok kan libur” katanya. “Nggak ah, pulang aja” katanya. “Kenapa sih? Besuk aku ultah lho” kataku. “Emangnya kenapa? Aku kamu suruh jadi seseorang yang mengucapkan pertama kali selamat gitu” candanya. “Hehehe,..iya” kataku sekenanya. Aku terdiam sambil memandang keluar jendela. “Hmm” aku menghela napas yang ternyata tertangkap olehnya. “Napa, Mas?” katanya. “Eh,..ga papa” kataku. Pikiranku masih sama, masih kacau balau tak beraturan. “Tuh monasnya dah keliatan” katanya. Aku menoleh kearahnya. Lalu mataku tertuju pada wajahnya. Cantik sekali diterangi lampu jalanan yang sedang kami lewati, diantara remang-remang cahaya, dia terlihat sama mempesonanya. Dia menoleh kearahku. Aku pura-pura melihat luar jendela. Kamipun telah memasuki areal monas. Memang disini selalu ramai disaat weekend seperti ini, ada yang main futsal, ada hanya jalan-jalan, ada yang sedang duduk-duduk, ada yang sedang lari-lari. Kamipun memilih untuk duduk disebuah bangku yang kosong. Kami mulai bercerita tentang diri kami, apa yang kami lakukan, serta beberapa kesukaan kami. Sambil sesekali kumeliriknya karena sampai saat inipun aku belum berani memandangi wajahnya. Aneh,..aku memang aneh, untuk memandanginya saja aku tidak mampu.

Jam menunjukkan pukul 23.55, saat kulihat dia menarik tangannya untuk melihat jam. “Kurang 5 menit lagi, Mas” katanya. “He em” sahutku. Udara malam ini mulai dingin sekali, menusuk-nusuk tulang. Kulihat dia agak kedinginan. Dia tutup resleting jaketnya. “Dingin ya” kataku. “Iya” jawabnya. “Sayangnya hari ini aku tidak membawa jaket, kalo bawa pasti kamu nggak sedingin ini” kataku. “Ah,..nggak papa, jaketku juga sudah hangat kok” katanya. “Selamat ulang tahun, Mas” katanya. Aku tersentak kaget. “Eh udah jam 12 ya, makasih ya, Nan” kataku. “Asyik,..Aku jadi orang yang pertama” katanya girang. Aku mengangguk. “Udah pulang yuk, Mas” katanya. “Aku ngantuk banget” lanjutnya. Aku menoleh kearahnya. Wajahnya sudah kepayahan menahan kantuk. Aku sebenarnya nggak tega melihat wajahnya, tetapi aku benar-benar ingin mengatakan sesuatu padanya malam ini. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. “Nan, aku mau ngomong sesuatu” kataku. “Emangnya dari tadi kita nggak ngomong ya” candanya. “Ini serius, Nan” kataku. “Iya deh,..ngomong aja” katanya. Aku bingung harus mulai dari mana untuk mengawali pembicaraan penting ini. Sebenarnya akupun juga tidak berani mengatakannya. Tapi ini harus aku lakukan karena aku tidak ingin selalu tersiksa seperti ini. Inilah kesempatanku, kalau tidak sekarang kapan lagi. “Nan, jawab yang jujur ya” kataku membuka pembicaraan. “Iya” katanya. “Nan, mau nggak kamu jadi kado terindahku hari ini? Mau nggak kamu jadi istriku?” kataku. Entahlah tiba-tiba saja aku mengucapkan kata itu dan mempunyai keberanian untuk mengucapkannya. Seperti dugaanku Nani sangat terkejut, wajahnya terlihat memandangiku dengan aneh. Dia terdiam, lama sekali dia terdiam. “Nan, kamu marah ya?” kataku. Dia masih terdiam. “Nan, ngomong dong” kataku. Dia menoleh kearahku. “Mas, aku kira selama ini kamu menganggap aku sebagai adik, aku benar-benar terkejut kamu berkata seperti itu” katanya. Tubuhku lemas seketika mendengar apa yang dia katakan. Aku tau dia akan mengatakan seperti itu, karena selama ini aku memang tidak pernah menunjukkan padanya mengenai rasaku ini. Aku tertunduk dan berpikir. Tiba-tiba ada keberanian dalam diriku untuk mencoba meyakinkannya tentang rasaku ini. Ya,..Aku harus menyakinkannya. “Nan, kamu percaya takdir nggak?” kataku. “Percaya” katanya. “Maukah kamu menjalani dulu takdir kita ini” kataku. “Kita coba jalani dulu, Nan” kataku. “Aku tau, Nan, Kamu juga sayang sama aku” kataku. Terbesit keraguan di wajah Nani. Aku menatapnya, kulihat matanya, sembari mengatakan “Nan, jika takdir sudah dilukiskan maka kita tidak bisa menolak, apakah takdir itu kita berjodoh atau kita tidak berjodoh, tetapi takdir kita hari ini adalah kita dipertemukan dan aku diberi kesempatan untuk meminta hatimu. Apakah nanti kamu menerimaku atau tidak itupun takdir untukku. Nan, hidup ini sudah ada yang mengatur. Kita telah terpilih secara acak untuk berkenalan, bertemu dan mungkin berjodoh, Nan. Jalanilah semua ini dulu, Nan. Karena aku percaya pasti ada alasan kenapa kita sampai dipertemukan dan kenapa hari ini harus terjadi. Aku tau, Nan, kamu, aku dan kita punya rasa sayang yang sama. Sekali lagi Nan, maukah kau menjalani takdir ini bersamaku?” kataku. Dia memandangiku, tersenyum dan mengangguk walaupun aku tau ada galau dihatinya yang meragukan pernyataan dan perkataanku. Hari ini memang indah bukan karena hari ini ulang tahunku tetapi aku mendapat kado terindah yaitu Nania Yustisiana. Terima kasih Ya Allah,..

Hello, is it me you looking for?
I can see it in your eyes, I can see it in your smile
You’re all I’ve ever wanted and my arms are open wide
Cause you know just what to say and you know just what to do
And I want to tell you so much, I LOVE U,..
(Hello, Lionel Richie)

“Sekedar imajinasi penulis”

0 komentar: