11.46

Cinta Dunia Maya

Hari ini masih sama seperti hari sebelumnya. Jam 8 komputerku menyala, aku sign in kedua IM-ku yang selama ini aku gunakan untuk chat dengan temanku. Kulihat beberapa orang temanku sudah ada yang online. “Pagi” layar monitorku berkelip. “Pagi juga” kataku. Sudah beberapa bulan ini aku bercakap-cakap dengannya. Namanya Dhanis “Dhanis_manis” begitu nama IM-nya. “Narsis banget” itulah pikirku pertama kali saat mulai meng-add dia. Dia mengenalku dari beberapa email yang aku kirimkan ke dunia maya. Tertarik dengan namaku “Dyah Anggun Aulia Prasasti” yang kata orang tuaku berarti “Keanggunan wanita yang ditulis ulama diprasastinya”. “Dalem banget artinya” begitu ucapnya saat aku tanya kenapa tertarik dengan namaku. Dhanis adalah lulusan universitas negeri di Jakarta, dia bekerja sebagai internal auditor di perusahaan swasta di Jakarta. Saat awal kita ngobrol, dia suka sekali menebak mengenai aku. “Sok tau banget nih orang” pikirku saat itu. “Kamu orangnya teratur ya, teliti dan selalu melakukan hal yang sama setiap harinya” begitu katanya. Itulah Dhanis yang selalu memposisikan sesuatu dari segi psikologi, karena mungkin aku adalah seorang psikolog yang bekerja sebagai SDM di perusahaan swasta di Jakarta. “Kamu emangnya sapa sih?” kataku. “Aku suka membaca karakter orang” begitu katanya. “Ah kamu salah mendeskripsikan aku” kataku sekenanya. Walau aku akui semua yang dikatakannya itu benar. “Kamu itu jaim banget sih” katanya. “Nggak juga, kamu sukanya nebak gitu, takut ketahuan semuanya” kataku sekenanya. Itulah beberapa percakapanku diawal perkenalan kami. Dan beberapa bulan kemudian masih sama, kami masih suka menyapa dengan frekuensi yang tidak teratur. Kami hanya bercerita mengenai hal-hal umum saja, bahkan bukan sesuatu yang bersifat pribadi. Setauku dia berumur sama denganku, bekerja dan tinggal satu kota denganku. Benar-benar sangat umum. Mulai dari pekerjaan, kegiatan yang sering dilakukan dan segala sesuatu yang aku yakin orang lain juga tahu. IM-ku yang satu ini seperti jadi media private chatku dengannya, karena hanya dia yang chat denganku menggunakan salah satu IM-ku ini.

“Dy, no HP kamu berapa?” tanyanya suatu hari. “Napa emangnya?” tanyaku. “Aku pengen dengar suaramu” jawabnya. “Halah,..kok pake pengen dengar suaraku segala” candaku. “Ya,..iyalah kita kan udah lama chat buat memastikan saja kalo aku bener-bener chat dengan wanita” katanya. “Dan untuk memastikan padamu juga kalo aku bener-bener pria” sambungnya. “Kamu itu bisa aja” kataku. “Kasih dong, nanti aku telpon deh” katanya. “Beri aku no HP kamu dulu” kataku. “081223456789, telpon aja kalo nggak percaya” katanya. “Iya, nanti aku telpon kamu ya” kataku. “Lha terus no HP kamu?” tanyanya. “Tunggu aku telpon kamu aja ya” jawabku sekenanya. “Bener lho Dy” katanya. ”Iya” kataku enteng. Aku dan Dhanis mempunyai banyak perbedaan, sepertinya dalam percakapan kami tidak satupun ada yang sama. Tapi entah kenapa aku lebih nyambung ngobrol dengannya daripada dengan temanku yang lainnya. Suatu hari aku menepati janjiku. Aku meng-SMS Dhanis saat ulang tahunnya. Itu sudah 2 bulan setelah mendapatkan no HP nya. Dhanis langsung menelponku. “Makasih ya Dy” katanya. Suaranya berat, tegas dan sepertinya dewasa sekali. Bener-bener seperti dugaanku sebelumnya.

“Dy, kita copy darat yuk” katanya. “Halah, kamu itu aneh-aneh aja sih” kataku. “Aku ingin memastikan bahwa PIC yang aku kirim padamu benar dan PIC yang aku kirim padaku benar” katanya. “Kayaknya pernah denger deh” kataku. “Emang” katanya. “Ketemuan dimana?” kataku. “Terserah kamu” jawabnya. “Dimana ya, oiya, di café temanku aja, aku sering kesana, tempatnya enak banget” kataku. “Selain itu lebih aman bagiku untuk copy darat dengan orang yang tak pernah aku temui sebelumnya” pikirku. “Boleh, didaerah mana?” tanyanya. “Daerah Blok M” kataku. “Ok deh, besuk sabtu gimana? Sekitar jam 11” katanya. “Bagaimana cara tau itu kamu dan itu aku?” kataku. “Kan kita sudah tau PIC masing-masing” jawabnya. “Bisa saja PIC menipu kan” kataku. “Liat aja deh” jawabnya. “Ok deh, aku tunggu ya” kataku.

Sabtu ditempat yang ditentukan. Aku memang berniat datang lebih awal, untuk sekedar berbincang sebentar dengan temanku Surya pemilik café ini, aku tahu sabtu adalah waktu tersibuknya karena inilah waktu terbaik untuk ber-weekend ria. Aku memesan Capucino panas kesukaanku, Surya sampai hafal dengan menu favoriteku itu. Aku bawa buku kesukaanku pula untuk aku baca sampai tuntas sambil menunggu Dhanis. Jam sudah menunjukkan pukul 11.30, Dhanis belum juga tampak batang hidungnya. “Mungkin dia kena macet” pikirku, di Jakarta tidak ada jam tidak macet walau hari sabtu sekalipun. Aku mencoba menghubunginya. Tidak diangkat, sekali lagi, tetap tidak diangkat. Aku mencoba SMS Dhanis. “Dhanis ada dimana?” ketikku di HP. Tidak ada jawaban. “Mungkin Dhanis masih dijalan” pikirku. Aku mencoba bersabar untuk menunggunya. Jam telah menunjukkan pukul 13.00, aku masih di café itu, menunggu Dhanis. Aku coba telpon lagi, tidak diangkat, sekali lagi, tidak diangkat juga. “Sudah habis kesabaranku” gumamku. Aku merasa dipermainkan Dhanis. Kali ini aku benar-benar marah. Aku mengirimkan sebuah SMS padanya “Maaf Dhanis, Kalo anda sedang sibuk jangan pernah sekali lagi membuat janji dengan orang lain dan jangan pernah menemui saya lagi” ketikku dalam SMS itu. Aku meninggalkan café itu dengan perasaan kecewa. Orang yang aku percaya selama ini mempunyai kualitas kepribadian seperti ini. Disepanjang jalan aku mengerutu tidak ada habisnya. Saat malam tibapun, Dhanis juga tidak memberikan kabar. Entah dimana anak itu ternyata aku salah menilai orang. Dimana nyalinya, seharusnya itu bukan sikap pria. Sesibuk apapun seharusnya dia mempunyai waktu untuk hanya sekedar memberi aku kabar dimana dia sekarang. Apakah terlalu sulit hanya untuk menelepon atau menuliskan SMS. Akupun sudah menyiapkan kata-kata untuk menumpahkan amarahku besok pagi padanya.

Keesokan harinya, dia masih saja offline, sampai akhir haripun tetap offline. Begitupula hari selanjutnya dan selanjutnya, sampai seminggu kemudian, tetap saja dia tidak tampak. Aku malas bila harus meng-SMS atau menelponnya lagi. “Nggak penting deh” pikirku. Ini sudah hari ketujuh dia menghilang. Dan aku sudah sedikit melupakan kejadian itu. Suatu sore tiba-tiba telponku berdering dari nomer yang tidak aku kenal. “Halo” kataku. “Dy” jawaban dari seberang. Aku merasa mengenal suaranya. Ya,..itu suara Dhanis. Belum sempat aku bicara, dia sudah melanjutkan kata-katanya. “Aku berada di depan kantormu, aku ingin menemuimu, please temui aku” katanya. Belum sempat aku berbicara, telponnya sudah ditutup. Aku coba telpon kembali untuk mengatakan “Aku takkan pernah mau menemuimu lagi” tetapi telpon diseberang mengatakan “nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau diluar jangkauan, silahkan meninggalkan pesan”, pertanda HP-nya dimatikan. “Maunya apa sih tuh orang” pikirku. Aku segera beranjak keluar kantor. Aku mencari sosok Dhanis, aku masih punya sisa ingatan mengenai sosoknya dari PIC yang dikirimkannya padaku. Aku coba mencari sosok yang belum aku kenal sebelumnya itu diantara sosok-sosok temanku yang sedang menyiapkan diri pulang ke rumah. “Kamu Dyah ya” suara itu mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara tepat dibelakangku. “Dhanis” kataku. Persis seperti sosok yang digambarkannya selama ini. Dia memandangiku, begitupula aku. “Dy, ijinkan aku berbicara sebentar padamu” katanya. “Apa yang ingin kamu bicarakan lagi Dhan” kataku. “Aku tau kamu marah besar padaku Dy, tapi dengarlah penjelasanku dulu” katanya. “Sudahlah aku tidak ingin mendengar segala alasanmu lagi” kataku. Aku beranjak dari tempatku berdiri, tetapi tangannya meraih lenganku. “Please Dy, dengerin aku dulu” katanya. “Lepaskan tanganmu” kataku. “Aku akan melepaskan tanganku setelah kamu mau aku ajak bicara. Aku tak peduli walaupun kamu berteriak sekalipun” katanya. “Apa sih maumu” kataku. “Kamu akan tau Dy” jawabnya. “Ayo kita ke café temanmu itu seperti janji kita bertemu seminggu yang lalu” katanya. “Kita bicara disini saja” kataku. “Dy, please, jika kamu berikan waktu walaupun untuk yang terakhir sekalipun, aku terima Dy, tapi tolong dengerin penjelasan aku dulu” katanya. “Ok, aku beri kamu waktu untuk yang terakhir kali” kataku.

Dia memacu motornya ke café Surya. Diperjalanan dia tidak mengatakan sepatah katapun begitu pula aku. Tiba-tiba aku merasakan amarah kembali yang sangat dari diriku kepadanya. “Aku harus mengendalikan ini” pikirku. Kami tiba di café Surya, 45 menit kemudian, suasananya agak lengang kali ini. Aku memesan Capucino kesukaanku sedangkan dia memesan soft drink. “Apa yang ingin kamu jelaskan” kataku mengawali pembicaraan. “Dy, aku ingin bercerita padamu, tetapi jangan pernah memotong perkataanku dulu, kamu punya waktu berbicara setelah aku selesai menjelaskan kepadamu” katanya. “Kenapa orang ini selalu berbicara sistematis” pikirku. Dhanis selalu berbicara dengan alur, dari semenjak saat kita pertama kali bertemu di dunia maya sampai saat kami bertemu nyata. Mungkin karena pekerjaannya sebagai auditor yang selalu menggunakan alur untuk menarik kesimpulan. “Terserah rule-mu lah Dhan” kataku sekenanya. “Dy, aku tau kamu marah, tapi please dengarkan aku dengan seksama, setelah itu kamu bebas melakukan apapun terhadap diriku” katanya. “ya,..ya,..terserah maumu lah” kataku.

Dhanis mulai bercerita. “Dy, sebenarnya seminggu yang lalu saat kita buat janji disini, aku sudah berada disini ½ jam sebelum kamu datang” katanya memulai. “Aku melihatmu masuk ke café dan berbincang sebentar dengan temanmu itu” sambungnya. “Kamu memesan Capucino panas saat itu, sambil menungguku, kamu membaca buku”. “Buku berwarna merah tapi tidak jelas buku apa yang kamu baca”. “Kamu duduk di meja no. 5, memakai baju biru dengan celana jeans biru” katanya. “Jam 11.30 kamu mulai menelpon dan meng-SMS-ku tapi aku tidak berani mengangkat” “Kamu memesan kembali capucino dingin setelah itu, kamu selesai membaca bukumu jam 12.15” katanya. “Jam 12.30 kamu pergi ke toilet, sambil berbincang sebentar kearah pelayan yang menjaga pintu itu. Kamu memperlihatkan sesuatu padanya. Aku rasa kamu berbicara padanya untuk menyuruhku menunggu bila aku datang, aku tau kamu menunjukkan PIC-ku padanya” katanya. “Kamu kembali lagi kemejamu jam 12.45, kamu menelponku lagi dan meng-SMS aku lagi sebelum meninggalkan café ini” jelasnya. “Jam 13.00 kamu meninggalkan café ini” katanya. Penjelasannya sangat lugas sekali, benar itulah yang aku lakukan saat itu, sampai sedetail itu dia memperhatikan aku. “Terus kena..” kataku tetapi terlanjur dipotong olehnya. “Dy, please kamu jangan bicara dulu” katanya. “Aku tau kamu ingin menanyakan kenapa aku tidak menemuimu kan?” katanya. “Dy, sewaktu melihatmu datang dan duduk dimeja itu, aku berharap segera menemuimu. Aku duduk di meja no. 10, ditempat kita saat ini Dy, tampak jelas dari sini meja no.5 itu” terangnya. Memang tampak jelas sekali, tetapi dari meja no. 5 tidak begitu jelas untuk melihat kearah meja no. 10 karena harus menengok. “Aku memandangimu, kamu cantik Dy, sempurna” katanya. “Lebih dari yang aku duga sebelumnya, benar-benar lebih dari dugaanku sebelumnya” katanya. “Aku terlalu pengecut Dy, hanya untuk menemuimu saja aku tidak berani. Aku takut kamu kecewa melihatku. Kamu liat sekarang kan, aku hanya orang biasa-biasa saja” sambungnya. “Aku takut untuk menemuimu dan kuputuskan saat itu untuk tidak bertemu denganmu dulu. Ternyata setelah melihatmu aku tidak siap bertemu denganmu” katanya. “Aku berencana akan memberi kabar padamu sore harinya” jelasnya. “Tapi saat aku melihatmu pulang dan membaca SMS-mu, aku jadi mengurungkan niatku itu dan aku benar-benar menyesal, kenapa aku tidak menemuimu saja dengan segala konsekuensinya. Aku melihat kamu benar-benar marah sekali Dy” sambungnya. “Aku pulang dengan keadaan sangat menyesal. Aku sangat ingin meminta maaf padamu tapi aku tau kamu masih sangat marah” sambungnya.”Maafkan aku ya Dy’ katanya. “Aku pikir harus menunggu waktu dulu sampai kamu agak melupakannya, bahkan aku berpikir untuk tidak menghubungimu lagi bila memang harus seperti itu” sambungnya. “Tapi 3 hari setelah itu, aku search namamu di google, aku menemukan namamu lolos seleksi penerimaan karyawan di Yogyakarta. Dan aku tau kamu akan menerimanya kesempatan itu kan” katanya. “Aku berpikir dan terus berpikir Dy, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Akhirnya aku putuskan untuk menemuimu lagi” sambungnya. “Dy, taukah kamu kalo sebenarnya menyukaimu” katanya. “Tinggallah disini saja Dy” katanya. “Aku meminta padamu” katanya sambil menundukkan muka. “Dy, aku benar-benar meminta maaf padamu, maafkan semua kesalahanku ya” katanya. Wajahnya tampak menyesal sekali. “Aku sudah selesai bicara, Dy” katanya.

Aku pandangi matanya, amarahku berangsur-angsur menghilang. Aku dengarkan setiap kata demi kata yang diucapkannya tadi. “Dy, bicaralah” katanya. “Dhan, kamu itu seperti Dhanis yang aku dugakan selama ini. Inilah Dhanis yang selama ini hanya aku ajak berbicara di chat. Sosok kamu inilah yang selama ini aku pikirkaan mengenai Dhanis didunia nyata. Tidak ada yang salah dengan yang aku pikirkan” kataku. “Kamu orang yang sederhana, sistematis, teratur, suka bicara apa yang kamu pikirkan dan secara fisikpun tidak melenceng dari dugaanku selama ini” kataku. “Aku tidak pernah berpikir mengenai seperti apa fisikmu, Dhan, hanya saja aku kecewa dengan sikapmu” sambungku. “Seharusnya walau bagaimanapun kamu harus menemui aku dulu waktu itu, karena kamu telah berjanji menemuiku, ingat Dhan menunggu itu menjenuhkan” kataku. “Saat itu sebenarnya aku ingin mengatakan padamu aku telah lolos seleksi yang pernah aku ceritakan padamu sebelumnya, aku ingin bilang padamu bagaimana sebaiknya, apakah aku harus pergi atau tetap tinggal” kataku. “Dan setelah kejadian itu, aku putuskan untuk pergi saja, aku tidak mau bila aku saja yang menyukaimu Dhan” kataku. Ada sinar kekagetan sekaligus kebahagiaan dari wajah Dhanis setelah mendengar ucapanku barusan. “Tapi setelah aku mendengar penjelasanmu tadi , aku akan mengubah tujuanku. Aku akan tetap disini Dhan” kataku. “Aku sudah selesai bicara, Dhan” kataku. “Dy, kamu juga suka aku?” tanyanya. Wajahnya sangat sumringah sekali. Aku mengangguk. “Kenapa aku tidak menemuimu saja minggu lalu?” katanya. Aku tersenyum. “Dhan, aku pikir kamu tidak akan pernah tau perasaanku bahwa sesungguhnya aku menyukaimu” begitu ucapku dalam hati.

“Kala bunga mengembangkan sekali lagi mekarnya

Tampak padanya sebuah aroma mewangi yang terbias

Tatkala hujan berhenti menjadi lengkungan pelangi

Sewarna hati yang sedang mengembangkan sayap cinta”

“Sekedar imajinasi penulis”

0 komentar:

Cinta Dunia Maya

Hari ini masih sama seperti hari sebelumnya. Jam 8 komputerku menyala, aku sign in kedua IM-ku yang selama ini aku gunakan untuk chat dengan temanku. Kulihat beberapa orang temanku sudah ada yang online. “Pagi” layar monitorku berkelip. “Pagi juga” kataku. Sudah beberapa bulan ini aku bercakap-cakap dengannya. Namanya Dhanis “Dhanis_manis” begitu nama IM-nya. “Narsis banget” itulah pikirku pertama kali saat mulai meng-add dia. Dia mengenalku dari beberapa email yang aku kirimkan ke dunia maya. Tertarik dengan namaku “Dyah Anggun Aulia Prasasti” yang kata orang tuaku berarti “Keanggunan wanita yang ditulis ulama diprasastinya”. “Dalem banget artinya” begitu ucapnya saat aku tanya kenapa tertarik dengan namaku. Dhanis adalah lulusan universitas negeri di Jakarta, dia bekerja sebagai internal auditor di perusahaan swasta di Jakarta. Saat awal kita ngobrol, dia suka sekali menebak mengenai aku. “Sok tau banget nih orang” pikirku saat itu. “Kamu orangnya teratur ya, teliti dan selalu melakukan hal yang sama setiap harinya” begitu katanya. Itulah Dhanis yang selalu memposisikan sesuatu dari segi psikologi, karena mungkin aku adalah seorang psikolog yang bekerja sebagai SDM di perusahaan swasta di Jakarta. “Kamu emangnya sapa sih?” kataku. “Aku suka membaca karakter orang” begitu katanya. “Ah kamu salah mendeskripsikan aku” kataku sekenanya. Walau aku akui semua yang dikatakannya itu benar. “Kamu itu jaim banget sih” katanya. “Nggak juga, kamu sukanya nebak gitu, takut ketahuan semuanya” kataku sekenanya. Itulah beberapa percakapanku diawal perkenalan kami. Dan beberapa bulan kemudian masih sama, kami masih suka menyapa dengan frekuensi yang tidak teratur. Kami hanya bercerita mengenai hal-hal umum saja, bahkan bukan sesuatu yang bersifat pribadi. Setauku dia berumur sama denganku, bekerja dan tinggal satu kota denganku. Benar-benar sangat umum. Mulai dari pekerjaan, kegiatan yang sering dilakukan dan segala sesuatu yang aku yakin orang lain juga tahu. IM-ku yang satu ini seperti jadi media private chatku dengannya, karena hanya dia yang chat denganku menggunakan salah satu IM-ku ini.

“Dy, no HP kamu berapa?” tanyanya suatu hari. “Napa emangnya?” tanyaku. “Aku pengen dengar suaramu” jawabnya. “Halah,..kok pake pengen dengar suaraku segala” candaku. “Ya,..iyalah kita kan udah lama chat buat memastikan saja kalo aku bener-bener chat dengan wanita” katanya. “Dan untuk memastikan padamu juga kalo aku bener-bener pria” sambungnya. “Kamu itu bisa aja” kataku. “Kasih dong, nanti aku telpon deh” katanya. “Beri aku no HP kamu dulu” kataku. “081223456789, telpon aja kalo nggak percaya” katanya. “Iya, nanti aku telpon kamu ya” kataku. “Lha terus no HP kamu?” tanyanya. “Tunggu aku telpon kamu aja ya” jawabku sekenanya. “Bener lho Dy” katanya. ”Iya” kataku enteng. Aku dan Dhanis mempunyai banyak perbedaan, sepertinya dalam percakapan kami tidak satupun ada yang sama. Tapi entah kenapa aku lebih nyambung ngobrol dengannya daripada dengan temanku yang lainnya. Suatu hari aku menepati janjiku. Aku meng-SMS Dhanis saat ulang tahunnya. Itu sudah 2 bulan setelah mendapatkan no HP nya. Dhanis langsung menelponku. “Makasih ya Dy” katanya. Suaranya berat, tegas dan sepertinya dewasa sekali. Bener-bener seperti dugaanku sebelumnya.

“Dy, kita copy darat yuk” katanya. “Halah, kamu itu aneh-aneh aja sih” kataku. “Aku ingin memastikan bahwa PIC yang aku kirim padamu benar dan PIC yang aku kirim padaku benar” katanya. “Kayaknya pernah denger deh” kataku. “Emang” katanya. “Ketemuan dimana?” kataku. “Terserah kamu” jawabnya. “Dimana ya, oiya, di café temanku aja, aku sering kesana, tempatnya enak banget” kataku. “Selain itu lebih aman bagiku untuk copy darat dengan orang yang tak pernah aku temui sebelumnya” pikirku. “Boleh, didaerah mana?” tanyanya. “Daerah Blok M” kataku. “Ok deh, besuk sabtu gimana? Sekitar jam 11” katanya. “Bagaimana cara tau itu kamu dan itu aku?” kataku. “Kan kita sudah tau PIC masing-masing” jawabnya. “Bisa saja PIC menipu kan” kataku. “Liat aja deh” jawabnya. “Ok deh, aku tunggu ya” kataku.

Sabtu ditempat yang ditentukan. Aku memang berniat datang lebih awal, untuk sekedar berbincang sebentar dengan temanku Surya pemilik café ini, aku tahu sabtu adalah waktu tersibuknya karena inilah waktu terbaik untuk ber-weekend ria. Aku memesan Capucino panas kesukaanku, Surya sampai hafal dengan menu favoriteku itu. Aku bawa buku kesukaanku pula untuk aku baca sampai tuntas sambil menunggu Dhanis. Jam sudah menunjukkan pukul 11.30, Dhanis belum juga tampak batang hidungnya. “Mungkin dia kena macet” pikirku, di Jakarta tidak ada jam tidak macet walau hari sabtu sekalipun. Aku mencoba menghubunginya. Tidak diangkat, sekali lagi, tetap tidak diangkat. Aku mencoba SMS Dhanis. “Dhanis ada dimana?” ketikku di HP. Tidak ada jawaban. “Mungkin Dhanis masih dijalan” pikirku. Aku mencoba bersabar untuk menunggunya. Jam telah menunjukkan pukul 13.00, aku masih di café itu, menunggu Dhanis. Aku coba telpon lagi, tidak diangkat, sekali lagi, tidak diangkat juga. “Sudah habis kesabaranku” gumamku. Aku merasa dipermainkan Dhanis. Kali ini aku benar-benar marah. Aku mengirimkan sebuah SMS padanya “Maaf Dhanis, Kalo anda sedang sibuk jangan pernah sekali lagi membuat janji dengan orang lain dan jangan pernah menemui saya lagi” ketikku dalam SMS itu. Aku meninggalkan café itu dengan perasaan kecewa. Orang yang aku percaya selama ini mempunyai kualitas kepribadian seperti ini. Disepanjang jalan aku mengerutu tidak ada habisnya. Saat malam tibapun, Dhanis juga tidak memberikan kabar. Entah dimana anak itu ternyata aku salah menilai orang. Dimana nyalinya, seharusnya itu bukan sikap pria. Sesibuk apapun seharusnya dia mempunyai waktu untuk hanya sekedar memberi aku kabar dimana dia sekarang. Apakah terlalu sulit hanya untuk menelepon atau menuliskan SMS. Akupun sudah menyiapkan kata-kata untuk menumpahkan amarahku besok pagi padanya.

Keesokan harinya, dia masih saja offline, sampai akhir haripun tetap offline. Begitupula hari selanjutnya dan selanjutnya, sampai seminggu kemudian, tetap saja dia tidak tampak. Aku malas bila harus meng-SMS atau menelponnya lagi. “Nggak penting deh” pikirku. Ini sudah hari ketujuh dia menghilang. Dan aku sudah sedikit melupakan kejadian itu. Suatu sore tiba-tiba telponku berdering dari nomer yang tidak aku kenal. “Halo” kataku. “Dy” jawaban dari seberang. Aku merasa mengenal suaranya. Ya,..itu suara Dhanis. Belum sempat aku bicara, dia sudah melanjutkan kata-katanya. “Aku berada di depan kantormu, aku ingin menemuimu, please temui aku” katanya. Belum sempat aku berbicara, telponnya sudah ditutup. Aku coba telpon kembali untuk mengatakan “Aku takkan pernah mau menemuimu lagi” tetapi telpon diseberang mengatakan “nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau diluar jangkauan, silahkan meninggalkan pesan”, pertanda HP-nya dimatikan. “Maunya apa sih tuh orang” pikirku. Aku segera beranjak keluar kantor. Aku mencari sosok Dhanis, aku masih punya sisa ingatan mengenai sosoknya dari PIC yang dikirimkannya padaku. Aku coba mencari sosok yang belum aku kenal sebelumnya itu diantara sosok-sosok temanku yang sedang menyiapkan diri pulang ke rumah. “Kamu Dyah ya” suara itu mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara tepat dibelakangku. “Dhanis” kataku. Persis seperti sosok yang digambarkannya selama ini. Dia memandangiku, begitupula aku. “Dy, ijinkan aku berbicara sebentar padamu” katanya. “Apa yang ingin kamu bicarakan lagi Dhan” kataku. “Aku tau kamu marah besar padaku Dy, tapi dengarlah penjelasanku dulu” katanya. “Sudahlah aku tidak ingin mendengar segala alasanmu lagi” kataku. Aku beranjak dari tempatku berdiri, tetapi tangannya meraih lenganku. “Please Dy, dengerin aku dulu” katanya. “Lepaskan tanganmu” kataku. “Aku akan melepaskan tanganku setelah kamu mau aku ajak bicara. Aku tak peduli walaupun kamu berteriak sekalipun” katanya. “Apa sih maumu” kataku. “Kamu akan tau Dy” jawabnya. “Ayo kita ke café temanmu itu seperti janji kita bertemu seminggu yang lalu” katanya. “Kita bicara disini saja” kataku. “Dy, please, jika kamu berikan waktu walaupun untuk yang terakhir sekalipun, aku terima Dy, tapi tolong dengerin penjelasan aku dulu” katanya. “Ok, aku beri kamu waktu untuk yang terakhir kali” kataku.

Dia memacu motornya ke café Surya. Diperjalanan dia tidak mengatakan sepatah katapun begitu pula aku. Tiba-tiba aku merasakan amarah kembali yang sangat dari diriku kepadanya. “Aku harus mengendalikan ini” pikirku. Kami tiba di café Surya, 45 menit kemudian, suasananya agak lengang kali ini. Aku memesan Capucino kesukaanku sedangkan dia memesan soft drink. “Apa yang ingin kamu jelaskan” kataku mengawali pembicaraan. “Dy, aku ingin bercerita padamu, tetapi jangan pernah memotong perkataanku dulu, kamu punya waktu berbicara setelah aku selesai menjelaskan kepadamu” katanya. “Kenapa orang ini selalu berbicara sistematis” pikirku. Dhanis selalu berbicara dengan alur, dari semenjak saat kita pertama kali bertemu di dunia maya sampai saat kami bertemu nyata. Mungkin karena pekerjaannya sebagai auditor yang selalu menggunakan alur untuk menarik kesimpulan. “Terserah rule-mu lah Dhan” kataku sekenanya. “Dy, aku tau kamu marah, tapi please dengarkan aku dengan seksama, setelah itu kamu bebas melakukan apapun terhadap diriku” katanya. “ya,..ya,..terserah maumu lah” kataku.

Dhanis mulai bercerita. “Dy, sebenarnya seminggu yang lalu saat kita buat janji disini, aku sudah berada disini ½ jam sebelum kamu datang” katanya memulai. “Aku melihatmu masuk ke café dan berbincang sebentar dengan temanmu itu” sambungnya. “Kamu memesan Capucino panas saat itu, sambil menungguku, kamu membaca buku”. “Buku berwarna merah tapi tidak jelas buku apa yang kamu baca”. “Kamu duduk di meja no. 5, memakai baju biru dengan celana jeans biru” katanya. “Jam 11.30 kamu mulai menelpon dan meng-SMS-ku tapi aku tidak berani mengangkat” “Kamu memesan kembali capucino dingin setelah itu, kamu selesai membaca bukumu jam 12.15” katanya. “Jam 12.30 kamu pergi ke toilet, sambil berbincang sebentar kearah pelayan yang menjaga pintu itu. Kamu memperlihatkan sesuatu padanya. Aku rasa kamu berbicara padanya untuk menyuruhku menunggu bila aku datang, aku tau kamu menunjukkan PIC-ku padanya” katanya. “Kamu kembali lagi kemejamu jam 12.45, kamu menelponku lagi dan meng-SMS aku lagi sebelum meninggalkan café ini” jelasnya. “Jam 13.00 kamu meninggalkan café ini” katanya. Penjelasannya sangat lugas sekali, benar itulah yang aku lakukan saat itu, sampai sedetail itu dia memperhatikan aku. “Terus kena..” kataku tetapi terlanjur dipotong olehnya. “Dy, please kamu jangan bicara dulu” katanya. “Aku tau kamu ingin menanyakan kenapa aku tidak menemuimu kan?” katanya. “Dy, sewaktu melihatmu datang dan duduk dimeja itu, aku berharap segera menemuimu. Aku duduk di meja no. 10, ditempat kita saat ini Dy, tampak jelas dari sini meja no.5 itu” terangnya. Memang tampak jelas sekali, tetapi dari meja no. 5 tidak begitu jelas untuk melihat kearah meja no. 10 karena harus menengok. “Aku memandangimu, kamu cantik Dy, sempurna” katanya. “Lebih dari yang aku duga sebelumnya, benar-benar lebih dari dugaanku sebelumnya” katanya. “Aku terlalu pengecut Dy, hanya untuk menemuimu saja aku tidak berani. Aku takut kamu kecewa melihatku. Kamu liat sekarang kan, aku hanya orang biasa-biasa saja” sambungnya. “Aku takut untuk menemuimu dan kuputuskan saat itu untuk tidak bertemu denganmu dulu. Ternyata setelah melihatmu aku tidak siap bertemu denganmu” katanya. “Aku berencana akan memberi kabar padamu sore harinya” jelasnya. “Tapi saat aku melihatmu pulang dan membaca SMS-mu, aku jadi mengurungkan niatku itu dan aku benar-benar menyesal, kenapa aku tidak menemuimu saja dengan segala konsekuensinya. Aku melihat kamu benar-benar marah sekali Dy” sambungnya. “Aku pulang dengan keadaan sangat menyesal. Aku sangat ingin meminta maaf padamu tapi aku tau kamu masih sangat marah” sambungnya.”Maafkan aku ya Dy’ katanya. “Aku pikir harus menunggu waktu dulu sampai kamu agak melupakannya, bahkan aku berpikir untuk tidak menghubungimu lagi bila memang harus seperti itu” sambungnya. “Tapi 3 hari setelah itu, aku search namamu di google, aku menemukan namamu lolos seleksi penerimaan karyawan di Yogyakarta. Dan aku tau kamu akan menerimanya kesempatan itu kan” katanya. “Aku berpikir dan terus berpikir Dy, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Akhirnya aku putuskan untuk menemuimu lagi” sambungnya. “Dy, taukah kamu kalo sebenarnya menyukaimu” katanya. “Tinggallah disini saja Dy” katanya. “Aku meminta padamu” katanya sambil menundukkan muka. “Dy, aku benar-benar meminta maaf padamu, maafkan semua kesalahanku ya” katanya. Wajahnya tampak menyesal sekali. “Aku sudah selesai bicara, Dy” katanya.

Aku pandangi matanya, amarahku berangsur-angsur menghilang. Aku dengarkan setiap kata demi kata yang diucapkannya tadi. “Dy, bicaralah” katanya. “Dhan, kamu itu seperti Dhanis yang aku dugakan selama ini. Inilah Dhanis yang selama ini hanya aku ajak berbicara di chat. Sosok kamu inilah yang selama ini aku pikirkaan mengenai Dhanis didunia nyata. Tidak ada yang salah dengan yang aku pikirkan” kataku. “Kamu orang yang sederhana, sistematis, teratur, suka bicara apa yang kamu pikirkan dan secara fisikpun tidak melenceng dari dugaanku selama ini” kataku. “Aku tidak pernah berpikir mengenai seperti apa fisikmu, Dhan, hanya saja aku kecewa dengan sikapmu” sambungku. “Seharusnya walau bagaimanapun kamu harus menemui aku dulu waktu itu, karena kamu telah berjanji menemuiku, ingat Dhan menunggu itu menjenuhkan” kataku. “Saat itu sebenarnya aku ingin mengatakan padamu aku telah lolos seleksi yang pernah aku ceritakan padamu sebelumnya, aku ingin bilang padamu bagaimana sebaiknya, apakah aku harus pergi atau tetap tinggal” kataku. “Dan setelah kejadian itu, aku putuskan untuk pergi saja, aku tidak mau bila aku saja yang menyukaimu Dhan” kataku. Ada sinar kekagetan sekaligus kebahagiaan dari wajah Dhanis setelah mendengar ucapanku barusan. “Tapi setelah aku mendengar penjelasanmu tadi , aku akan mengubah tujuanku. Aku akan tetap disini Dhan” kataku. “Aku sudah selesai bicara, Dhan” kataku. “Dy, kamu juga suka aku?” tanyanya. Wajahnya sangat sumringah sekali. Aku mengangguk. “Kenapa aku tidak menemuimu saja minggu lalu?” katanya. Aku tersenyum. “Dhan, aku pikir kamu tidak akan pernah tau perasaanku bahwa sesungguhnya aku menyukaimu” begitu ucapku dalam hati.

“Kala bunga mengembangkan sekali lagi mekarnya

Tampak padanya sebuah aroma mewangi yang terbias

Tatkala hujan berhenti menjadi lengkungan pelangi

Sewarna hati yang sedang mengembangkan sayap cinta”

“Sekedar imajinasi penulis”

0 komentar: